Senin, 17 Oktober 2011


ANTARA PEMBANGUNAN, KEMISKINAN dan KELAPARAN
Oleh: Rike Emdes Rani
00470
Abstrak
Artikel ini menceritakan tentang pembangunan, angka kemiskinan yang diusahakan menurun  dan realita kelaparan yang terus meningkat. Difokuskan pada penyeimbangan pembangunan yang tidak hanya dari luar namun juga dari dalam negara itu sendiri, juga tentang pembenahan kehidupan masyarakat kelaparan di tengah keglamoran Indonesia.
PENDAHULUAN
            Dewasa ini, pembangunan menjadi tolak ukur yang digunakan orang untuk menilai dan menghargai sesuatu. Untuk suatu negara, sudah menjadi hal yang mutlak dengan menggunakan pembangunan sebagai pengukur maju atau tidaknya suatu negara. Didasarkan dengan prinsip ini, banyak negara di Dunia yang tergolong negara miskin dan berkembang mulai merangkak ke pembangunan. Menjadi sebuah negara yang maju, tentu merupakan idaman setiap negara, namun acap kali yang terjadi, pembangunan itu tidak diimbangi dengan penataan ekonomi dan keadaan masyarakat. Ibarat sebuah rumah, dimana kita hanya memperbaiki kondisi luar rumah,tanpa menata ulang keadaan dalam rumah dan prasarana serta penghuni rumah, lalu apakah ini yang kita sebut sebagai pembangunan untuk ukuran sebuah kemajuan?
            Suatu konsep yang agaknya diterapkan oleh negara Indonesia, yaitu menuju kemajuan. Bukan hal yang tidak mungkin bagi negara seperti Indonesia untuk mencapai titik kemajuan, namun juga bukan menjadi hal yang patut dibiarkan jika Indonesia terlihat terlalu “memaksakan diri” untuk berdiri sejajar dengan negara maju. Indonesia kian melesat pesat untuk kemajuan, dengan berbagai hal, banyak hal yang diubah namun banyak juga hal yang sepertinya terlupakan. Dimana tidak seharusnya ada pilar pencakar langit di tengah-tengah masyarkat yang kelaparan. Juga sepertinya kita dapat melihat sendiri bahwa sedikit senjang untuk melihat  para pejabat turun dari mobil mengkilap sedang masih banyak masyarakatnya menadahkan tangan dijalanan.
            Harus menjadi sesuatu yang kita pikirkan bersama, karena kemiskinan bukan hanya menjadi milik mereka yang memakan nasi aking saja,namun juga milik kita yang setidaknya tinggal diatas tanah dan langit yang sama dengan mereka.

PEMBAHASAN
            Pembangunan, satu kata yang harus kita cerna lekat-lekat. Apakah pembangunan ini hanyalah pemabngunan fisik semata? Atau justru pembangunan dibalik fisik itu sendiri? Menjadi satu tanda tanya besar bagi Indonesia jika banyak orang terkesima dengan bangunan Indonesia, pertanyaannya adalah pantaskah? Pantaskah ada gedung-gedung pencakar langit sedangkan masyarakat masih ada yang tinggal beratapkan langit saja? Pantsakah ada perumahan elit sementara masyarakat masih tinggal di pinggiran kali? Pantaskah kita memakan makanan elit sementara banyak orang  masih mengkonsumsi nasi aking? Pantaskah ada yang mengenakan pakaian yang merauk kocek hingga jutaan, sedangkan banyak orang yang hanya memiliki dua helai pakaian untuk kelangsungan hidupnya.
            Ironis, angka kemiskinan Indonesia setiap tahunnya terus ditekan, namun tingkat kelaparannya semakin memprihatinkan. Satu contoh di Purworejo, 18% Penduduk Purworejo makan hanya 1 kali sehari. Jika Purworejo yang di Jawa saja kondisinya seperti itu, kemungkinan penduduk di daerah seperti Papua  dan Kalimantan lebih parah lagi.
Kendati angka kemiskinan penduduk Kabupaten Purworejo mengalami penurunan jika dibanding tahun sebelumnya, namun sekitar 49.151 kepala keluarga (KK) atau sekitar 24,66 persen dari 199.338 KK kini dalam kondisi memprihatinkan. Dari jumlah itu 34.902 KK di antaranya masuk kategori keluarga pra sejahtera alasan ekonomi. Sedang 14.249 KK lainnya termasuk keluarga sejahtera I alasan ekonomi.
Keluarga pra sejahtera ini menurut Kepala Dinas Kependudukan Keluarga Berencana (KB) dan Catatan Sipil Purworejo Masduqi Simor SH KN, yakni keluarga yang anggotanya dalam setiap hari hanya makan kurang dari dua kali.
Kategori KK pra sejahtera lainnya lanjut Masduqi, kondisi lantai rumahnya masih tanah, terutama bagian yang terluas, pakaian yang dipakai untuk sekolah sekaligus pakaian harian di rumah, serta jika anggota keluarganya menderita sakit tidak mampu membawanya ke fasilitas kesehatan.
Sementara untuk keluarga sejahtera I alasan ekonomi, di antaranya tidak mampu membeli baju baru dalam jangka waktu satu tahun, dan dalam mengonsumsi makanan, dalam satu minggu tidak pernah bertemu dengan telur maupun daging. Anak usia 7 hingga 15 tahun tidak bersekolah karena tidak ada biaya, dan lainnya. [1]
            Apakah permasalahan ini hanya menjadi milik mereka? Lalu bagaimana tanggapan anggota DPR yang pada hakekatnya bekerja untuk rakyat? Mereka menjawab dengan: Pembangunan gedung baru dengan harga lebih dari satu triliun.
Total biaya pembangunan gedung ini sekitar Rp1.162.202.186.793 (Rp1,162 triliun). Biaya sebesar ini belum termasuk anggaran untuk IT, sistem keamanan dan furniture. Rinciannya:
  1. Biaya Konstruksi Fisik Rp1.125.074.721.000
  2. Biaya Konsultan Perencana Rp19.126.270.257
  3. Biaya Konsultan MK Rp16.876.120.815
  4. Biaya Pengelolaan Kegiatan Rp1.125.074.721[2]
Lagi, sebuah angka miris, dimana pembangunan fisik dianggap sesuatu yang wajar dan harus diutamakan dibandingkan dengan pembangunan masyarakat itu sendiri. Angka yang tidak kecil, dan memiliki arti yang luar biasa bila ditempatkan untuk pembenahan masyarakat. Jelas angka itu tidak hanya untuk menekan kemiskinan, tapi jauh dari itu, untuk sedikit melonggarkan belenggu kelaparan dan kenestapaan.
Seharusnya, seiring dengan peningkatan pembangunan dari luar, kita juga harus melihat keadaan didalam, membangun dari dalam jauh lebih baik dari pada pembanguna fisik yang hanya mendahulukan kemewahan. Untuk apa sebuah rumah mewah dan megah terlihat dari luar, sementara isi didalamnya amat teramat memprihatinkan?
Bukan berarti pembangunan itu tidak penting, namun akan menjadi pekerjaan pemerintah untuk dapat menyeimbangkan pembangunan dan penanggulangan masyarakat miskin. Untuk memprioritaskan kehidupan masyarakat dibanding dengan pembangunan. Karena bukankah selama ini kinerja pemerintah tetap baik walau hanya bekerja di gedung yang sudah ada? Dan bukankah harga untuk gedung itu bisa kita pindahklan untuk melepas belenggu kelaparan? Jika memang ingin bekerja lebih baik, bekerjalah tanpa pamrih, untuk pembangunan Indonesia.
Jika kemiskinan dan kelaparan yang melanda anak bangsa tidak ditanggulangi, lalu akan jadi apa bangsa kita ini? Bukankah nantinya yang akan meneruskan bangsa kita adalah mereka? Jika saat ini saja mereka tidak mengecap pendidikan dan tidak memiliki gizi yang cukup, akankah mereka bisa meneruskan bangsa ini? Akankah mereka bisa menggunakan fasilitas mahal yang dibangun saat ini?
Kembali, menjadi hal yang harus dipikirkan lagi dan lagi, bahwa pembangunan yang seadanya jauh lebih baik untuk kondisi Indonesia saat ini.
Sumber:
-  Kedaulatan Rakyat, Thursday, 17 March 2010,
























[1] Kedaulatan Rakyat, 17 March 2010

Minggu, 17 Juli 2011

About Me :-)

Hello, my name is Rike Emdes Rani. I was born on 04 December 1989. Now I am studying at University State Of Padang, West Sumatera, Indonesia. I take studying about sociology-antropology.